Hanuang.com – November bulan terpanas bagi sebagian besar kampus, khususnya Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang sedang melangsungkan Pemilihan Raya (PEMIRA) yakni Presiden Mahasiswa, Rabu, (28/11/18).
Pemira merupakan kegiatan positif, sebagai proses pembelajaran. Mahasiswa melakukan proses dialektika yang membenturkan berbagai macam teori dan konsep. Bertarung dalam kontestasi politik kampus dengan mengusung ideologi masing-masing. Mereka adalah penerus yang akan menggantikan generasi tua, proyeksi masa depan Indonesia.
Diketahui Pemira juga merupakan ajang memilih pemimpin bagi lembaga kemahasiswaan yang merupakan miniatur sebuah kampus bagi mahasiswa yang Disebut DEMA-U (Dewan Mahasiswa-Universitas_red) atau yang biasa kita kenal dengan presiden mahasiswa di UIN Raden Intan Lampung.
Sudah seharusnya pesta demokrasi dapat menjadi pembelajaran bagi setiap mahasiswa dalam sebuah kampus. Dimana setiap mahasiswa memiliki hak untuk menentukkan kandidat mana yang dipilih.
“Atas Dasar pemilihan inilah yang perlu dijadikan parameter kedewasaan seseorang berpolitik, Setiap mahasiswa diajak untuk berpikir objektif dan rasional dalam memilih kandidat yang lebih kompeten” ungkap salah seorang mahasiswa.
Namun berbeda dengan pemilihan raya mahasiswa (pemira) di UIN Raden Intan Lampung, Setelah sempat tertunda selama 2 periode karena birokrasi kampus yang dianggap tidak jelas.
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan hari ini (28/11) Pelaksanaan PEMIRA di UIN Raden Intan Lampung yang berakhir ricuh dan tidak membuahkan Hasil.
Hal ini dipicu oleh beberapa faktor yakni yang pertama dari kurang konsisten nya waktu pelaksanaan PEMIRA yang pada awal akan dilaksanakan pukul 08.00 WIB, namun tertunda hingga pukul 09.30 WIB.
Diketahui ada dua kandidat capres yang bersaing, Mereka adalah pasangan Ghofar-Dinata dan Imam-Habib.
“Kurang kondusifnya antrian mahasiswa yang akan mencoblos dikarenakan Lokasinya TPS yang tidak memadai, Adapun kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam PEMIRA ini seperti kecurangan double suara, ketidakadilan dalam mengatur antrian (blokade oleh satu pihak) yang menyebabkan mahasiswa dari sisi lain tidak bisa menyampaikan hak suaranya” jelas mahasiswa yang enggan disebut namanya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Dipicu dari hal-hal itulah yang akhirnya menyebabkan PEMIRA ini ricuh dan berakhir dengan keributan yang luar biasa. (*)